Selasa, 23 November 2010

Air Mancur Mujur Melimpah

Jauh di atas bukit, dalam sebuah taman ajaib yang dikelilingi dinding-dinding tinggi serta dilindungi sihir yang kuat, berdirilah Air Mancur Mujur Melimpah.

Sekali setahun, pada jam-jam di antara terbit dan tenggelamnya matahari di hari terpanjang dalamtahun itu, satu orang yang tak mujur mendapatkan kesempatan untuk berjuang mencari jalan ke Air Mancur, membasuh diri di sana, dan mendapatkan kemujuran melimpah untuk selama-lamanya.

Pada hari yang telah ditentukan, ratusan orang datang dari seluruh penjuru kerajaan agar mereka dapat sampai di dinding-dinding taman sebelum fajar tiba. Laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, tua dan muda, memiliki kekuatan sihir maupun tidak, mereka semua berkumpul di tengah gelapnya malam, masing-masing berharap dirinyalah yang akan berhasil memasuki taman ajaib.

Tiga penyihir perempuan, dengan masalahnya masing-masing, bertemu di antara kerumunan orang banyak itu. Sambil menunggu terbitnya matahari pagi, mereka menceritakan kesedihan masing-masing kepada yang lainnya.

Penyihir pertama, bernama Asha, menderita sakit yang tak bisa disembuhkan oleh tabib manapun. Dia berharap Air Mancur akan menghilangkan semua sakit-penyakitnya dan memberinya umur panjang serta kebahagiaan.

Penyihir kedua, bernama Altheda, bercerita bahwa rumah, emas, dan tongkat sihirnya telah dicuri seorang penyihir jahat. Dia berharap Air Mancur akan mengembalikan kekuatan serta kekayaannya.

Penyihir ketiga, bernama Amata, telah diinggalkan seorang yang sangat dicintainya hingga Amata berpikir hatinya takkan pernah sembuh lagi. Dia berharap Air mancur akan membebaskannya dari duka dan rasa rindu.

Karena saling mengasihani, ketiga perempuan itu setuju bahwa jika mendapat kesempatan, mereka akan bersatu dan berusaha mencapai Air Mancur bersama-sama.

Langit mulai disinari cahaya pertama matahari terbit, dan ada celah kecil di dinding yang terbuka. Kerumunan orang itu mendesak maju, setiap orang berseru bahwa merekalah yang berhak atas keajaiban Air Mancur. Sulur-sulur merambat dari taman ajaib menjulur di antara kerumunan orang, dan melingkar mengikat penyihir pertama, Asha. Asha menggapai pergelangan tangan penyihir kedua, Altheda, yang mencengkeram ujung jubah penyihir ketiga, Amata.

Dan amata tersangkut pada baju besi seorang ksatria kumal yang duduk di atas kuda kurus kering.

Tanaman merambat itu menarik ketiga penyihir masuk ke celah kecil di dinding, dan sang ksatria tertarik dari kudanya, di belakang ketiga penyihir.

Seruan-seruan marah dari kerumunan orang yang kecewa memenuhi udara pagi, lalu kerumunan itu terdiam ketika dinding-dinding taman tertutup kembali.

Asha dan Altheda marah kepada Amata yang tak sengaja menarik sang ksatria masuk ke taman bersama mereka.

“Hanya satu orang yang dapat membasuh diri di Air Mancur! Sudah cukup sulit menentukan siapa di antara kita yang berhak melakukannya, dan sekarang ada tambahan seorang lagi!”

Sir Luckless, begitulah nama yang diberikan orang-orang di luar taman ajaib kepada sang ksatria, memperhatikan bahwa ketiga perempuan yang bersamanya adalah penyihir. Dan karena dia tidak memiliki kekuatan sihir, keterampilan hebat dalam berduel dengan tongkat besar sambil berkuda, berduel dengan pedang, maupun keterampiilan lain yang berharga, Sir Luckkless yakin dia tak mungkin mengalahkan ketiga perempuan itu mencari jalan menuju Air Mancur. Sebab itulah Sir Luckless menyatakan keinginannya untuk mundur dan keluar dari dinding-dinding yang mengelilingi taman itu.

Mendengar ini, Amata juga menjadi marah.

“Pengecut!” katanya mencemooh sang ksatria. “Tariklah pedangmu, Ksatria, dan bantu kami mencapai tujuan!”

Demikianlah ketiga penyihir dan ksatria menyedihkan itu masuk lebih jauh ke taman ajaib. Tanaman-tanaman obat langka dan berbagai jenis buah serta bunga melimpah mengapit jalan setapak yang diterangi cahaya matahari. Tak satu pun rintangan mereka temui sampai mereka mencapai kaki bukit tempat Air Mancur berdiri.

Di sana, seekor cqcing putih raksasa melingkar di dasar bukit, matanya buta dan tubuhnya membengkak. Ketika mereka semakin mendekat, cacing itu berbalik dam memperlihatkan wajahnya yang jelek, lalu mengucapkan serangkaian kata:

“Persembahkan kepadaku bukti sakitmu.”

Sir Luckless menghunus pedang dan mencoba membunuh binatan itu, tapi pedangnya justru patah. Lalu Altheda melempari cacing itu dengan batu, sedangkan Asha dan Amata mendaraskan seetiap mantra yang mungkin dapat menghilangkan sic acing atau membantu mereka melewatinya, tetapi kekuatan tongkat sihir mereka sama tak bergunanya dengan batu yang dilemparkan Altheda ataupun pedang besi sang ksatria: Cacing itu tetap tak membiarkan mereka lewat.

Matahari bergerak semakin tinggi di langit, dan Asha yang putus asa mulai menangis.

Kemudian cacing besar itu mendekatkan wajahnya dan meminum air mata yang mengalir di pipi Asha. Setelah hausnya terpuaskan, cacing itu menggeliat ke samping dan menghilang ke dalam lubang yang terbuka di tanah.

Gembira karena cacing itu menghilang, ketiga penyihir perempuan dan sang ksatria mulai mendaki bukit. Mereka yakin dapat tiba di Air Mancur sebelum sore menjelang.

Akan tetapi, di tengah perjalanan menaiki lereng terjal, mereka melihat kata-kata yang terukir di tanah di hadapan mereka:

“Persembahkan kepadaku buah usahamu.”

Sir Luckless mengambil satu-satunya koin yang ia miliki, lalu menaruhnya di sisi bukit berumput itu, tetapi koinnya menggelinding ke bawah dan hilang. Ketiga penyihir dan sang ksatria terus mendaki, namun tak selangkah pun mereka maju, meskipun mereka sudah berjalan selama berjam-jam. Puncak bukit juga tak semakin dekat, dan ukiran kata-kata itu tetap ada di hadapan mereka.

Keempat orang itu menjadi putus asa ketika matahari terlihat menurun dan mulai bergerak tenggelam di horizon, tetaapi Altheda terus berjalan, lebih cepat dan berusaha lebih keras daripada yang lainnya, memaksa yang lain mengikuti contoh yang dia berikan, meskipun dia tak bergerak lebih dekat ke puncak bukit ajaib.

“Jadilah pemberani, teman-teman, dan jangan menyerah!” seru Altheda sambil menyeka keringat dari keningnya.

Seiring dengan jatuhnya butir-butir keringat Altheda ke 5tanah, ukiran kata-kata yang menahan laju mereka perlahan-lahan menghilang, dan kini mereka bisa bergerak semakin dekat ke puncak bukit.

Bahagia karena rintangan kedua ini berhasil disingkirkan, mereka berjalan secepat mungkin menuju puncak bukit, sampai akhirnya mereka dapat melihat Air Mancur, gemerlapan bagaikan Kristal di bawah pepohonan dan bunga-bungaan.

Tapi sebelum bisa mencapai Air Mancur, mereka dihadapkan pada anak sungai yang mengelilingi puncak bukit, menghalangi jalan mereka. Di kedalaman air yang bening, terdapat sebuah batu halus yang di permukaannya tertulis:

“Persembahkan kepadaku harta masa lalumu.”

Sir Luckless mencoba menyeberangi anak sungai sengan perisainya, tetapi perisai itu tenggelam. Ketiga penyihir menariknya dari air, lalu mencoba melompati anak sungai itu. Namun mereka tidak dapat menyeberanginya, sementara di langit mulai tenggelam semakin jauh.

Maka mereka semua memikirkan apakah arti person pada batu itu, dan Amata yang pertama kali memahami isi oesan tersebut. Dengan tongkat sihirnya, Amata menarik semua ingatan tentang saat-saat bahagia bersama kekasihnya yang hilang dari benak, lalu menjatuhkan semua ingatan itu ke dalam air yang mengalir deras. Anak sungai menghanyutkan ingatan Amata, dan tiba-tiba muncul batu-batu pijakan di sepanjang anak sungai, dan akhirnya ketiga penyihir serta sang ksatria bisa melewati anak sungai, menuju puncak bukit.

Air Mancur Mujur Melimpah berkilau di hadapan mereka, berdiri di antara tanaman obat serta bunga-bungaan, semuanya lebih langka dan lebih indah daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya. Warna langit berubah merah bagaikan permata rubi, dan tibalah waktunya bagi mereka untuk menentukan siapa yang akan membasuh diri di Air Mancur.

Tetapi, sebelum mereka membuat keputusan, Asha yang lemah terjatuh ke tanah. Kelelahan akibat perjalanan dan perjuangan mereka menuju puncak bukit, dia hampir mati.

Ketiga temannya ingin menggendong Asha ke Air Mancur, tetapi Asha begitu sedih dan menderita sehingga dia memohon agar mereka tidak menyentuhnya sama sekali.

Maka Altheda cepat-cepat mengumpulkan berbagai tanaman obat yang menurutnya akan membantu Asha, mencampurnya dengan air di botol minuman Sir Luckless, dan menuangkan ramuan itu ke mulut Asha.

Seketika itu, Asha mampu berdiri lagi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, seluruh gejala penyakit parahnya hilang tak berbekas.

“Aku sembuh!” seru Asha. “Aku tak perlu membasuh diri di Air Mancur—biar Altheda yang membasuh diri!”

Tapi Altheda sedang sibuk mengumpulkan lebih banyak tanaman obat.

“Jika aku bisa menyembuhkan penyakit ini, aku pasti bisa memperoleh emas berlimpah! Biar Amata saja yang membasuh diri!”

Sir Luckless membungkuk, mempersilakan Amata berjalan menuju Air mancur, tapi Amata malah menggeleng. Naka sungai tadi telah menghanyutkan seluruh penyesalan Amata atas kekasihnya, dan dia menyadari bahwa selama ini kekasihnya memang jahat dan tak setia, terbebas dari laki-laki itu saja sudah merupakan kebahagiaan besar baginya.

“Ksatria yang baik, Andalah yang harus membasuh diri di Air Mancur, sebagai balasan atas semua tindakan ksatria Anda!” kata Amata pada Sir Luckless.

Maka sang ksatria berjalan maju ke arah Air Mancur Mujur Melimpah, dengan baju besi lengkap di tengah cahaya terakhir matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya, dan membasuh diri di air mancur itu. Sir Luckless betul-betul tak menyangka dirinya yang terpilih dari ratusan orang yang menunggu-nunggu kesempatan ini, hingga dia bergetar gembira atas kemujurannya.

Ketika matahari turun di kaki langit, Sir Luckless melangkah keluar dari bawah Air Mancur dengan penuh kemenangan dan kemuliaan. Dalam baju besinya yang karatan, Sir Luckless berlutut di hadapan Amata, perempuan paling baik hati dan cantik yang pernah dilihatnya. Dengan gembira dan bangga atas keberhasilannya, sang ksatria memohon agar Amata sudi membuka hati untuknya dan menikah dengannya, dan Amata, yang tak kalah gembiranya, menyadari bahwa dia telah menemukan laki-laki yang pantas mendapatkan cintanya.

Akhirnya, ketiga penyihir dan sang ksatria bersama-sama menuruni bukit, bergandengan tangan, dan sejak itu keempatnya memperoleh umur panjang dan hidup bahagia. Dan tak seorang pun pernah curiga bahwa sebenarnya Air Mancur Mujur Melimpah sama sekali tidak memiliki keajaiban.


[Copyright J. K. Rowling 2007/2008]